Ahli saraf dari Boston College, Amerika Serikat, mengungkap secara saintifik alasan ‘kebencian abadi’ di tengah konflik Israel dan Palestina.
Hal itu berdasarkan sebuah studi baru kualitatif terbaru yang melibatkan partisipasi hampir 3.000 orang di Israel dan Palestina di Timur Tengah, Partai Republik dan Demokrat di Amerika Serikat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak merasa kelompok mereka lebih termotivasi oleh rasa cinta daripada rasa benci.
Namun, ketika ditanya mengapa kelompok lawan terlibat dalam konflik, partisipan menjawab rasa benci sebagai faktor pendorong kelompok tersebut.
Konflik Palestina-Israel sendiri bisa dirunut sejak era Perang Dunia I saat muncul gagasan soal rumah buat bangsa Yahudi di tanah Palestina lewat Deklarasi Balfour, 1917. Sejak itu, berseri-seri perang militer dan konflik sipil tak kunjung padam hingga hari ini.
Young kemudian meneliti fenomena ini bersama Adam Waytz, penulis utama dari Northwestern University dan Jeremy Ginges dari The New School of Social Research.
Hasilnya menunjukkan bahwa kedua belah pihak tidak dapat menemukan solusi atau kompromi karena keduanya memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang satu sama lain.
Studi yang diunggah di jurnal The Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) juga menunjukkan bahwa dalam konflik antarkelompok politik dan etnoreligius, cenderung menghubungkan agresi kelompok mereka dengan cinta dalam kelompok.
Meskipun asimetri atribusi motif membuat solusi dan kompromi menjadi tidak mungkin dicapai, makalah penelitian ini menunjukkan bahwa mengenali bias atribusi kelompok bisa mengurangi konflik global.