Jenuh dengan Informasi Covid-19?
Jakarta, CNN Indonesia — Sudah berbulan-bulan pemberitaan soal virus corona masih saja mewarnai keseharian. Orang-orang seperti terseret dalam arus berita buruk yang tak pernah berakhir tentang virus corona. Setiap hari selalu ada berita soal virus penyebab Covid-19, dari jumlah korban yang terus bertambah, lockdown, PSBB, gejala baru, dan lainnya.
Rasakan Dampak Berlebihan dari Berita Covid-19
Ada kisah-kisah tragis dari para pekerja kesehatan dan keluarga yang kelelahan yang harus mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang dicintai melalui jendela. Sulit untuk memalingkan muka. Stres, pusing, panik, atau bosan? Anda tak sendirian. Di seluruh dunia, orang-orang menyadari bahwa mereka sedang tertatih-tatih di garis tipis antara tetap terinformasi dan tergelincir ke dalam berita corona yang berlebihan.
Perubahan Efek Mental dan Fisik
Sekarang, orang-orang mulai merasakan efek dibanjiri oleh berita terkait Covid-19. Bagi banyak orang, arus informasi telah menimbulkan ketakutan dan kecemasan. Beberapa mengembangkan gejala fisik, seperti sakit kepala ringan, sesak dada dan susah tidur, sementara yang lain merasa sangat kesal. Disadari atau tidak, inilah yang terjadi.
Respon Tubuh terhadap Berita Menegangkan
Mengutip Huffington post, membaca berita yang menegangkan akan mengaktifkan respons pertarungan atau pelarian dalam diri. Coba perhatikan, setelah selesai membaca atau menonton berita soal virus corona, tubuh mungkin merasa sedikit tak nyaman. Misalnya jantung akan berdetak kencang atau napas lebih cepat, gelisah, susah tidur, atau mimpi buruk.
Hal ini terjadi karena Anda terpapar dengan stresor, meski secara tak langsung, misalnya melalui media. Respons untuk ‘bertarung’ atau lari mulai menyala. Ini merupakan cara tubuh terhadap ancaman yang dirasakan.
“Ketika otak ditunjukkan gambar sesuatu yang berpotensi traumatis, pusat-pusat otak yang bertanggung jawab atas respons rasa takut menyala [dan] pusat-pusat otak yang terkait dengan perkembangan PTSD menyala,” kata Alison Holman, seorang psikolog dan profesor keperawatan di University of California Irvine.
Dampak Kesehatan Mental dan Fisik
Menurut Holman, apa yang dilihat orang sama pentingnya dengan seberapa banyak berita yang mereka tonton. Penelitiannya tentang pemboman Boston Marathon menemukan bahwa semakin mengerikan dan menggambarkan cakupannya, semakin banyak orang yang mengalami kesusahan dan gangguan fungsi organ. “Selama paparan yang terus-menerus terhadap penyebaran yang mematikan dan mematikan ini, kita sering merasa cemas dan kemudian beralih ke media sosial dan digital,” kata Yuval Neria, seorang profesor psikologi medis di Universitas Columbia dan direktur trauma dan gangguan stres pascatrauma di New York State Psychiatric Institute. “Paparan media yang tinggi pada gilirannya dapat membuat kita semakin cemas dan tertekan, yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi media sosial.”
Seiring waktu, paparan berlebihan terhadap media yang penuh tekanan dapat menyebabkan kecemasan kronis, depresi, dan insomnia. Ini juga dapat memicu berbagai masalah kesehatan fisik, seperti penyakit jantung, diabetes, penuaan dini, sampai peningkatan risiko bunuh diri.
Paparan Media dan Trauma Sekunder
“Tapi sebenarnya melihat, mendengar banyak info dari media sosial atau berita yang belum tentu benar tentang suatu kejadian itu juga akan menimbulkan trauma tersendiri,” katanya CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu. Senada dengan Anna Surti, Psikolog Melly Puspita Sari mengungkapkan bahwa trauma pasca-kejadian tertentu dibagi menjadi dua bagian besar yakni, trauma primer dan trauma sekunder. Trauma karena paparan media, media sosial yang menampilkan berbagai foto korban dan informasi hoax ini dikenal dengan sebutan trauma sekunder.
Batas Maksimal Membaca Berita
Holman menyarankan untuk membaca dua kali sehari, paling banyak. “Dapatkan informasi yang Anda butuhkan, dan jangan kembali lagi ke sana.” Selain itu berfokus pada fakta dan juga data positif tentang berapa banyak orang yang sembuh dan juga rekomendasi kesehatan.
(chs/chs)