JAKARTA, CNN Indonesia — Perlahan tapi pasti, sistem work from office kembali diberlakukan. Rindu kantor? bisa jadi, tapi kadang yang bikin malas adalah teman-teman kerja yang banyak drama.
Anda pasti paham tipe-tipenya: Ada yang datang-datang langsung mengeluh tentang betapa lelahnya mereka, mengirim pesan kepada orang-orang di pagi hari agar yang lain tahu kalau mereka sudah datang pagi hari sebelum Anda. Atau bahkan melewatkan makan siang karena katanya terlalu banyak pekerjaan, bahkan sampai bersikap berlebihan bahwa mereka sangat sibuk?
Coba bayangkan, jika satu orang melewatkan makan siang atau pulang terlambat dengan alasan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, atau tiba-tiba bos Anda mengirimkan pesan singkat bahkan email lewat jam kerja, Anda akan cenderung membalasnya. Sadarilah itu akan memberi banyak tekanan pada orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Tidak, ini bukan soal workaholic, tapi seseorang yang mencoba untuk bersikap seperti ‘martir’ di tempat kerja. Buat beberapa orang ini toxic karena memberikan tekanan untuk mereka melakukan hal yang sama. Ada kondisi atau sebutan khusus bagi perilaku ini yaitu toxic martyrdom.
“Ini bisa diartikan sebagai seseorang yang senang mengganggu dirinya sendiri, ‘membantu’ orang lain dan mengurusi masalah orang lain yang bukan urusan mereka,” kata Beingwell life coach Grace McMahon dikutip dari Stylist.
“Kita mungkin tertipu dengan berpikir mereka senang mengeluh atau disingkirkan, tetapi biasanya itu adalah mekanisme untuk melindungi rasa tidak aman mereka, untuk membuktikan diri atau nilai mereka. Jadi, di tempat kerja, ini terlihat seperti orang yang sering lembur, mengambil tanggung jawab lebih dari yang dibutuhkan peran mereka, atau mengambil lebih banyak tugas daripada yang sebenarnya bisa mereka tangani, untuk membuktikan nilai atau kemampuan mereka.”
Dia juga menambahkan bahwa toxic martyrdom di tempat kerja bisa mengurangi produktivitas dan motivasi dalam tim dan juga kesejahteraan mereka sendiri.
Sayangnya upaya-upaya seperti ini kerap tak dapat pengakuan dan perhatian. McMahon menambahkan bahwa ini dapat menyebabkan mereka merasa kesal, marah, atau bahkan tidak berdaya.
“Dan, ketika kita terus melakukan hal-hal ini sambil merasa kesal dengannya, itu dapat menciptakan lingkungan beracun bagi diri kita sendiri dan orang lain. Artinya, ya, toxic martyrdom di tempat kerja dapat menurunkan produktivitas dan motivasi dalam tim, seperti serta kesejahteraan mereka itu sendiri.”
Dia menambahkan bahwa perilaku toxic martyrdom ini bisa dikaitkan dengan kecenderungan narsistik, meski demikian, tak berati orang-orang yang melakukan hal itu pasti narsis.